Minimnya Publikasi dan Sosialisasi Peraturan Rektor Tentang PPKS di Lingkungan Unwahas, BEM FAI Himbau Perlunya Melibatkan Peran Aktif Ormawa

BEM FAI UNWAHAS - Perguruan Tinggi merupakan batu loncatan bagi mahasiswa untuk mengembangkan potensi dan kemampuan diri. Maka penyelenggaraan pendidikan di perguruan tinggi harus didukung oleh jaminan rasa aman dari segala bentuk kekerasan dan menjadi lingkungan yang kondusif bagi mahasiswa dalam mengembangkan potensi yang dimilikinya. Terciptanya kondisi aman tersebut bukan hanya ditentukan oleh ketersediaan fasilitas kampus yang lengkap, tetapi juga diperlukan kondisi di mana mahasiswa merasa terlindungi saat melakukan kegiatan belajar mengajar maupun kegiatan ekstrakulikuler. Salah satu aspek kenyamanan tersebut adalah tidak mengalami kekerasan seksual.
Apa itu Kekerasan Seksual ?
Kekerasan seksual di lingkungan kampus akhir-akhir ini menjadi isu hangat di tengah masyarakat, dan perlu dicegah serta ditangani agar tidak menghambat proses seseorang dalam mengemban ilmu pengetahuan di perguruan tinggi. Menurut Munandar Sulaeman & Siti Homzah (2010:79), kekerasan seksual adalah perbuatan memaksa orang lain untuk melakukan aktivitas seksual tanpa persetujuan atau tidak dikehendaki korban.
Mengacu pada Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi, kekerasan seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh, dan/atau fungsi reproduksi seseorang, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan psikis dan/atau fisik termasuk yang mengganggu kesehatan reproduksi seseorang dan hilang kesempatan melaksanakan pendidikan tinggi dengan aman dan optimal.
Berdasarkan pengertian di atas, maka dapat diketahui bahwa dalam kekerasan seksual terdapat relasi kuasa yang timpang, dan berpotensi memberikan peluang bagi terjadinya kekerasan seksual kepada pihak yang lebih lemah. Dalam identifikasi yang dilakukan Komisi Nasional Perlindungan Hak Asasi Perempuan (Komnas Perempuan), menemukan bahwa kekerasan seksual tidak terkait dengan persoalan seks atau hasrat semata, melainkan adanya ketimpangan relasi kuasa antara pelaku dan korban.
Oleh karena itu, diperlukan adanya suatu proses yang mengubah relasi kuasa tersebut menjadi setara atau terjadinya kondisi kesetaraan gender sehingga dapat mengurangi tindakan-tindakan penyalahgunaan kekuasaan dari pihak yang posisinya kuat kepada pihak posisinya lebih lemah, dan menghapus tindakan diskriminasi di dalam masyarakat.
Kekerasan Seksual di Lingkungan Kampus Perguruan Tinggi
Perguruan tinggi sebagai satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran tidak bebas dari ancaman kekerasan seksual. Bentuk kekerasan seksual yang terjadi di kampus pun beragam, meliputi perilaku fisik maupun non-fisik (termasuk juga pelecehan seksual luar dan dalam jaringan atau daring).
Berdasarkan data dari Komnas Perempuan, antara tahun 2015 sampai dengan 2021 kekerasan seksual di lingkungan pendidikan paling banyak terjadi di perguruan tinggi, yaitu 35 kasus. Meski angka yang ditunjukkan dari tahun ke tahun cenderung fluktuatif dan sempat mengalami penurunan di tahun 2021, lantas tidak bisa dianggap sebagai perbaikan. Sebab, potensi korban tidak melapor mungkin lebih tinggi dari yang tercatat.
Dalam liputan khusus Tirto.id yang bertajuk “Testimoni Kekerasan Seksual”, 174 penyintas dari 79 kampus di 29 kota pernah mengalami kekerasan seksual, meliputi; pelecehan seksual, intimidasi bernuansa seksual, hingga pemerkosaan. Rata-rata kejadian kekerasan seksual tersebut terjadi pada saat melakukan kegiatan kampus baik di luar maupun di dalam kampus. Dan sedikit sekali dari mereka yang melaporkan tindak pidana kekerasan seksual yang dialaminya kepada pihak kampus.
Menurut hasil wawancara yang dilakukan oleh Tirto.id, sebagian besar dari 174 penyintas merasa lebih baik diam, tidak melaporkan kejadian yang dialaminya ke pihak kampus. Bahkan, mereka juga enggan membicarakan dan memilih melupakan kejadian tersebut meskipun secara psikologis mereka terganggu dan mengalami trauma berkepanjangan.
Mengenal Peraturan Rektor Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual
Sebagai perguruan tinggi swasta di Semarang, Universitas Wahid Hasyim (Unwahas) telah menunjukkan komitmennya untuk menciptakan lingkungan kampus yang aman dan bebas dari kekerasan seksual. Hal ini dibuktikan dengan ditetapkannya Peraturan Rektor Nomor 1 Tahun 2022 Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Universitas Wahid Hasyim, yang menjadi payung jika terjadi tindak kekerasan seksual.
Peraturan tersebut merupakan turunan dari Peraturan Sekretaris Jenderal Kemendikbudristek Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2022 tentang Pedoman Pelaksanaan Permendikbudristek Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi.
Dalam Peraturan Rektor No. 1 Tahun 2022 ini, mengatur secara rinci mengenai bentuk kekerasan seksual yang mencakup tindakan yang dilakukan baik secara verbal, non-fisik, fisik, dan/atau melalui teknologi informasi dan komunikasi, yang meliputi 21 jenis kekerasan seksual.
Selain itu juga memuat mengenai pencegahan, penanganan, pembentukan Satuan Tugas (Satgas) Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS), serta mekanisme penanganannya. Adapun muatan tentang pengenaan sanksi administrasi kepada pelaku yang terbukti melakukan kekerasan seksual diatur dalam Bab III tentang penanganan.
Dengan ditetapkannya Peraturan Rektor tentang PPKS ini, BEM FAI Unwahas berharap adanya kontinuitas dalam bentuk implementasi yang baik demi terciptanya lingkungan kampus Unwahas yang nyaman dan aman dari tindakan kekerasan seksual.
Minimnya Publikasi dan Sosialisasi Peraturan Rektor Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Unwahas
Meski Peraturan Rektor tentang PPKS di lingkungan Unwahas sudah berlaku satu tahun lebih sejak ditetapkannya, yaitu pada Jum’at, 28 Januari 2022, namun tidak banyak civitas akademika yang mengetahui. Minimnya publikasi dan sosialisasi kepada seluruh civitas akademika dinilai menjadi alasan kuat ketidaktahuan mereka.
Hal tersebut tentu sangat disayangkan, karena bagaimanapun seharusnya para stakeholder terkait aktif melakukan sosialisasi atau memberikan pemahaman kepada seluruh civitas akademika tentang peraturan dan pedoman yang telah dibuat untuk membantu dalam menyelesaikan berbagai permasalahan tentang kekerasan seksual di lingkungan kampus.
Di samping itu, dalam mengimplementasikan peraturan PPKS ini juga perlu melibatkan peran organisasi internal di perguruan tinggi melalui penguatan budaya komunitas mahasiswa dalam bentuk komunikasi, informasi, maupun edukasi tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan kampus.
Kendati demikian, BEM FAI mengapresiasi disahkannya Peraturan Rektor No. 1 Tahun 2022 yang memberikan kepastian hukum bagi para korban kekerasan seksual di perguruan tinggi. Harapannya, para stakeholder masif mensosialisasikan peraturan PPKS ini dan melibatkan peran aktif organisasi internal sebagai upaya menciptakan lingkungan kampus yang aman dan nyaman dalam mengampu pendidikan tinggi.
Untuk peraturan lengkap tentang PPKS, silahkan unduh dan baca melalui tautan berikut ini.
Jenis | Tentang | Tautan |
---|---|---|
Permendikbudristek No. 30 Th. 2021 | PPKS di Lingkungan Perguruan Tinggi | Lihat |
Persekjen Kemendikbudristek No. 17 Th. 2022 | Pedoman Pelaksanaan Permendikbudristek No. 30 Th. 2021 | Lihat |
Perek No. 1 Th. 2022 | PPKS di Lingkungan Universitas Wahid Hasyim | Lihat |
Pedoman PPKS Unwahas 2023 | Pedoman PPKS di Lingkungan Universitas Wahid Hasyim | Lihat |

BEM FAI UNWAHAS
KH. A. WAHID HASYIM
Saat bunda melahirkanmu, engkau menangis, sementara orang-orang sekeliling menyambutmu dengan tawa gembira. Berjuanglah, hingga saat mautmu tiba, mereka manangis, sementara engkau tertawa ria.